Program PIT Picu Ketidak Pastian Hukum Bukti Celah Kebocoran

Derap Reformasi, Hukum, Ekonomi, Politik, Pemerintahan : Jakarta – Upaya Kementerian Kelautan Dan Perikanan menggenjot Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan menerapkan kuota Penangkapan Ikan Terukur (PIT) dianggap telah memicu ketidakpastian hukum dalam implementasinya.

Program itu alih alih dianggap untuk menggenjot PNBP terkait kebijakan penangkapan ikan justru telah membuka peluang celah kebocoran. Menyoroti hal tersebut, Ketua Bidang Perikanan dan Peternakan APINDO, Hendra Sugandhi kepada derap menyatakan perolehan PNBP disektor perikanan periode Januari-Agustus 2023 mengalami kontraksi yang sangat hebat “PNBP merosot sangat tajam year on year (YoY) minus 82,28 persen yang nilainya hanya Rp140,6 miliar,” kata Hendra kepada Majalah Berita ini di Jakarta, Senin -16.10.2023.

Padahal lanjut dia, komponen pengali PNBP yaitu harga dan produktivitas sudah dinaikkan ratusan persen dan migrasi perizinan kapal 5-29 GT yang tadinya izin pemerintah daerah menjadi izin pusat. “Tapi upaya tersebut ternyata tidak mampu mendongkrak PNBP perikanan dan volume hasil tangkapan terus menurun sejak sistem pasca produksi diterapkan 1 januari 2023,” jelasnya.

Masih kata Hendra, penurunan PNBP ini memicu Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap mengambil langkah zig zag. Dimulai dengan cara merampas hak nelayan pelaku usaha dengan menghanguskan SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) pra produksi yang masih berlaku. “Kemudian memaksa nelayan untuk mengubahnya menjadi SIPI pasca produksi,” ungkapnya.

Sambung Hendra, bahwa pelaku usaha perikanan tangkap juga banyak mendapatkan penjelasan dan penafsiran yang berbeda beda dari pegawai KKP, mengenai aturan PIT ini. “Jika tahun ini membayar PNBP dengan sistem pasca bayar/PIT lebih rendah daripada tahun 2022 sistem pra-bayar, maka pelaku usaha harus membayar selisih kekurangannya sebagai “sumbangan ke negara” agar matching dengan nilai PNBP yang dibayar tahun lalu,” bebernya.

“Hasil tangkapan ikan sudah ditimbang bersama enumurator dan didokumentasikan, namun ironisnya tidak diakui dan dikesampingkan. Nelayan pelaku usaha dituduh kurang bayar PNBP,” tambahnya.

Dia menjelaskan, intinya nelayan harus bayar minimal nilainya sama dengan nominal SIPI pra produksi. Jika tidak bersedia e-PIT akan terblokir tidak dapat mengupload dokumen dan akan dimasukan ke zona merah serta tidak diberikan SLO-SPB (Standar Laik Operasi – Surat Persetujuan Berlayar).

Hendra mengkhawatirkan kerancuan penyimpangan pelaksanaan pasca produksi merusak iklim usaha, meresahkan nelayan pelaku usaha dan menimbulkan ketidakpastian hukum. “Agar tidak menjadi bola liar, solusinya harus ada pihak ketiga di luar KKP yang segera mengaudit pelaksanaan pungutan PNBP perikanan pasca produksi agar tidak terjadi penyimpangan yang berkelanjutan yang berakibat meresahkan pelaku usaha,” pungkasnya.

Sementara terpisah, Ketua Kelompok Kerja Jurnalis Pengadilan Negeri Pontianak membeberkan, terkait dampak kebijakan itu deregulasi kebijakan Menteri perhubungan RI tidak sejalan pada pokok rancangan pembangunan maritim disebabkan monopoli bisnis penyelenggara di sektor maritim atau dapat menicu semangat persaingan Usaha Tidak Sehat dalam dunia maritim. Contoh saja perkara kebakaran kapal ikan nelayan Jawa tengah di daerah Kalbar. Ternyata penyidik tidak menyoalkan SIPI, akibatnya pengusaha kapal nelayan lokal mengalami kebangkrutan dan PAD menurun. Tegasnya