Belajar Dari Masa Silam Menuju Masa Depan, Haruskah Melewati Babak Kebebasan Intelektual Yang Di Tandai Milenialisme Sekuler ?

Derap Reformasi: Jakarta – Lewat The Age of Reason Thomas Paine sempat menganjurkan penggunaan nalar daripada mempercayai wahyu, dan memandang kitab suci sebagai karya sastra biasa daripada kitab yang terilhami secara ilahi.

Begitulah pamflet yang sangat popuper pada masanya yang pernah dibuat untuk mendukung teologi perkembangan alam dan keberadaan pencipta.

Hingga pada tahun 1794, 1975 dan tahun 1807, The Age of Reason diterbitkan menjadi buku dalam tiga bagian, sampai tercatat sebagai buku terlaris pada masa itu seolah membangkitkan rasa deistik (Latin-“deus”-Tuhan).

Berbeda dengan Britania Raya yang tidak menyambut pamflet ini dengan baik karena takut akan radikalisme politik yang disebabkan oleh Revolusi Prancis.

Dalam The Age of Reason yang menyajikan argumen-argumen deistik umum, Thomas Paine menekankan bahwa gereja Kristen sudah korup dan mengkritik kecendurngan untuk memperoleh kekuasan politik.

Sehingga Thomas Paine menganjurkan kepada semua orang untuk menggunakan nalar dan tidak perlu percaya pada wahyu, dan memandang kitab suci sebagai karya sastra.

Cara berpikir lama serupa inilah yang terus berkelanjutan sampai hari ini dan hendak dibenahi melalui gerakan kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritual seperti yang diusung oleh Eko Sriyanto Galgendu bersama kawan-kawan melalui GMRI (Gerakan Moral Rekonsialiasi Indonesia) diawal abad ke 21 ini yang memerlukan tatanan peradaban manusia baru.

Sebab tatanan etika – unggah ungguh – sudah semakin diabaikan, basis moral sudah ambruk mulai dari tidak adanya rasa malu, kebringasan yang berada diluar prikemanusiaan, kerakusan yang berlebihan hingga kekandasan akhlak untuk dijadikan kendali hidup dan kehidupan bermartabat dalam masyarakat.

Yang menarik, Ketika buku bagian pertama The Age of Reason diterbitkan pada tahun 1794, banyak penduduk Britania dan Prancis yang kecewa dengan Revolusi Prancis.

Pemerintahan Teror dimulai, Louis XVI dan Marie Antoinette dihukum mati, dan Britania berperang melawan Prancis.

Sejumlah tokoh radikal Britania yang masih mendukung Revolusi Prancis dicurigai oleh rekan sebangsa sendiri.

Sehingga The Age of Reason merupakan bagian dari pergerakan reformasi politik Britania pada tahap akhir yang lebih radikal dan secara terbuka mendukung republikanisme dan atheisme.

Meski Thomas Paine sendiri bukan seorang atheis, ia adalah seorang deis.

Masalah mulai muncul yang ditandai oleh keinginan Thomas Paine menerbitkan pemikirannya tentang agama, dimana keadaan Prancis saat itu sedang keranjingan menghapus seluruh tatanan kependetaan dan apapun yang terkait dengan sistem agama atau keimanan.

Meski kondisi ini dia anggap dapat menjadi energi pembangkit minatnya menulis, ia yakin kelak karyanya ini akan menjadi sangat penting. Setidaknya, Thomas Paine tidak ingin diantara kehancuran tahayul serta sistem pemerintahan dan teologi manusianya hilang pula moralitas, rasa kemanusiaan, dan pemahaman teologi yang benar.

The Age of Reason ditulis Thomas Paine untuk orang Prancis, namun dia mendedikasikannya untuk penduduk Amerika Serikat.

Menurut sejumlah pengamat ini membuktikan ikatannya dengan revolusioner Amerika cukup kuat.

Dalam bagian pertama bukunya Thomas Paine menyatakan kepercayaannya pada satu Tuhan, dan tidak lebih; “dan saya mengharapkan kebahagian di luar kehidupan ini.

Saya mendukung kesetaraan manusia; dan saya yakin bahwa tugas-tugas religius meliputi berperilaku adil, berbelas kasih, dan mencoba membahagiakan sesama”.

Nalar dan wahyu pada bagian pokok pembahasan Thomas Paine dalam bukunya yang spektakuler pada jamannya ini, dia mulai dengan menentang adanya wahyu.

Karena menurut dia, wahyu hanya dapat dipastikan oleh orang yang menerima pesan tersebut, maka dari itu bukan bukti yang kuat.

“Wahyu hanya untuk orang pertama, dan hanya sesuatu yang pernah didengar juga oleh orang juga oleh lain, maka itu mereka tidak harus memercayainya”.

Setelah mendeskripsikan alkitab sebagai “mitologi yang menakjubkan”, Paine mempertanyakan fakta bahwa kitab tersebut diwahyukan kepada penulisnya dan tidak yakin bahwa penulis aslinya dapat diketahui, misalnya dia menolak gagasan bahwa Musa menulis Pentateukh.

Menurut Davidson dan Scheick, Thomas Paine cukup jelas menguraikan visi masa kebebasan intelektual, ketika nalar mengalahkan takhayul.

Para ahli menyebut visi ini “milenialisme sekuler” dan dapat ditemui di semua karya-karyanya – misalnya, dalam Rights of Man, ia mengakhiri buku tersebut dengan menyatakan “Dari apa yang kita bisa lihat sekarang, tidak ada reformasi dalam dunia politik yang patut dianggap tidak mungkin.

Seperti karya-karya Paine lainnya, satu hal yang membuat The Age of Reason istimewa adalah gaya linguistiknya.

Menurut Eric Foner, karya Paine “membentuk bahasa politik baru yang dirancang untuk membawa politik ke masyarakat dengan menggunakan gaya yang jelas, sederhana, dan mudah.

Thomas Paine menguraikan visi barunya —citra utopia suatu masyarakat republikan yang egalitarian – dan gaya bahasanya yang sungguh idealis.

Ia mencetuskan istilah “hak-hak manusia”, “abad nalar”, “abad revolusi”, dan “masa yang menguji jiwa manusia.”

Gaya penulisannya mengisyaratkan dan mengintimidasi yang sebelumnya digunakan untuk subjek agama.

Retorikanya pun menarik perhatian; pernyataan-pernyataannya yang ringkas dan tajam mampu menghubungkan kelas pekerja dengan budaya kelas menengah hingga banyak dikutip oleh banyak orang.

Meski The Age of Reason telah memicu kemarahan sebagian besar pembaca dan melakukan kritik terhadap pemikiran dan gagasannya yang gila itu.

The Age of Reason diabaikan setelah tahun 1820, kecuali oleh kelompok radikal di Britania dan pemikir bebas di Amerika, seperti Robert G. Ingersoll dan pendukung penghapusan perbudakan Moncure Daniel Conway, yang menyunting karya Thomas Paine dan menulis buku biografi pertama tentang Thomas Paine yang diberi penilaian baik oleh The New York Times.

Baru kemudian setelah penerbitan The Origin of Species karya Charles Darwin pada tahun 1859 tampil ke publik, banyak orang yang kemudian berhenti membaca alkitab secara harfiah. P

ada inti pokok membaca pemikiran Thomas Paine, setidaknya kita bisa memahami lintas sejarah revolusi pemikiran yang berpaut dengan masalah agama yang sempat mengguncang generasi sebelum kita.

Gerakan pemikran serupa ino, bisa menjadi sandingan bagi generasi kita hari ini untuk menghantar generasi berikutnya membangun tatanan kehidupan yang lebih baik melalui gerakan moral dan spiritual, setidaknya agar bisa sedikit meredakan birahi yang lebih bersifat duniawi hingga abai pada hal-hal yang bersifat illahi.

Jalan terang dalam dimensi spiritual jelas sangat diharap – tak hanya oleh GMRI – untuk dapat menutun manusia menuju tatanan hidup dan kehidupan yang lebih baik sambil terus meredakan ambisi duniawi yang semakin jauh menyesatkan serta abai pada tatanan etika, moral dan akhlak yang luhur dari nilai-nilai kemanusiaan yang sejati.

Karena tetapi kebajikan dan kepedulian serta hasrat untuk selalu berbagi kepada orang lain, tanpa kecuali.