Derap Hukum, Pemerintahan: Bandung – Memastikan pelayanan publik di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) terlaksana baik, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Eddy O.S. Hiariej melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke beberapa unit pelaksana teknis (UPT) di sekitar Kota Bandung pada Selasa siang hingga malam 19.7.2022.
Ada beberapa UPT yang dikunjungi Eddy secara acak. Diantaranya adalah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kelas IIA Bandung, Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandung, Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas I Bandung, dan Lapas Kelas IIA Banceuy.
Di UPT tersebut, Eddy memeriksa berbagai sarana dan prasarana di lapas, seperti dapur, kamar, ruang teknis, klinik kesehatan termasuk program pembinaan yang dilakukan.
Pasca sidak, Eddy menyimpulkan bahwa reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia mendesak untuk segera dilakukan. Menurut Guru Gesar Hukum Pidana UGM itu, kondisi di lapas maupun rutan semakin menegaskan bahwa sistem peradilan pidana dan pemasyarakatan di Indonesia memang perlu dilakukan pembaharuan dimana hukuman kurungan badan bukan menjadi prioritas utama.
“Fakta di lapangan membuktikan bahwa sistem peradilan pidana dan pemasyarakatan kita memang perlu segera untuk dilakukan perubahan agar pembinaan terhadap warga binaan masyarakat lebih efektif,” ujarnya.
Selain itu, kata Eddy, para pelaksana dan penjaga lapas maupun rutan menjadi bagian dari aparat penegak hukum yang harus dilibatkan sejak awal proses, bukan sekedar menjadi pihak akhir yang menerima hasil proses hukum yang terjadi.
Menurut Eddy, perubahan sistem peradilan pidana dan pelibatan sipir sebagai bagian dari aparat penegak hukum merupakan salah satu substansi dari UU Pemasyarakatan yang baru dan juga RUU KUHP.
“Hal ini yang menjadi fokus utama dari UU Pemasyarakatan yang baru dan juga RUU KUHP,” tegasnya.
Banyaknya tahanan yang menghuni lapas atau rutan menjadikan kamar-kamar yang tersedia terpenuhi melebihi kapasitas atau over crowding. Sementara itu, jumlah sipir sangat kurang memadai. Hal ini rentan bagi timbulnya gesekan antar warga binaan dan juga beresiko tinggi terhadap keamanan lapas maupun rutan.
Karena itu, Eddy menekankan bahwa pidana kurungan hendaknya dijadikan pilihan akhir atau ultimum remedium dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
“Pidana kurungan hendaknya menjadi ultimum remedium. Dalam kasus tertentu, seseorang yang melanggar tidak harus dipidana kurungan, tetapi bisa diganti dengan hukuman lain seperti rehabilitasi atau kerja sosial,” ujarnya.
“Apabila itu dilakukan, akan efektif mengurangi over crowding yang terjadi,” tegasnya lagi.
Dalam konteks dan kondisi tertentu, membangun untuk memperbanyak kamar penjara itu penting untuk menyelesaikan persoalan jangka pendek. Tetapi dalam jangka panjang, hal itu tidak akan efektif.
“Percuma kita membangun lapas untuk mengakomodasi jumlah warga binaan yang semakin banyak kalau paradigma kita tidak berubah. Sebanyak apapun penjara dibangun, tidak akan pernah bisa ideal rasionya dengan jumlah penghuni yang ada apabila sistem peradilan pidana tidak kita reformasi,”pungkasnya.
Selain Lapas dan Rutan, Eddy juga sidak ke Kantor imigrasi (Kanim) Kelas I Bandung. Disini Eddy meninjau pelayanan terhadap permohonan paspor untuk WNI maupun permohonan kartu izin tinggal sementara untuk WNA maupun bentuk pelayanan publik lainnya.
Eddy juga mengunjungi Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Kelas I Bandung. Eddy meninjau gudang terbuka, gudang umum, gudang berbahaya, dan area perkantoran. Kendati terjadi overstaying dalam penyimpanan benda sitaan negara dan barang rampasan negara, namun keadaan masih terpantau rapi.