Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, persyaratan pendidikan terakhir calon kepala daerah ditetapkan berijasah SMU atau sederajat. Beberapa calon kepala daerah memanfaatkan syarat pendidikan minimal tersebut untuk maju, dengan mempertimbangkan popularitas dan ketokohan lebih banyak berperang menarik simpati pemilih.
Namun di sisi lain banyak pihak menilai, kelas intelektual calon kepala daerah akan banyak ditentukan oleh melalui backround pendidikan yang pernah dijalaninya. Pengamat Politik Purbo Satrio dari Litbang Demokrasi memaparkan pentingnya latar belakang pendidikan terkait visi misi membangun daerahnya kelak jika terpilih.
“Kepala Daerah terpilih karena ketokohannya itu ada di kelas empati sosial, bukan empati intelektual. Saya tidak mengatakan calon kepala daerah berijasah Sarjana lebih pintar daripada yang hanya berijasah SMU sederajat. Tetapi kita berada di era keterbukaan informasi dimana kemampuan intelektual menyikapi persaingan global dibutuhkan kebijakan secara akademis” jelas Purbo Satrio.
Purbo yang juga pemerhati kebijakan publik juga menyoroti beberapa calon kepala daerah menggunakan ijasah persamaan Kejar Paket C (setara SMA) sebagai syarat minimal pendidikan di KPU. Menurut Purbo secara konstitusional sah, namun kepala daerah adalah jabatan publik yang sarat dengan produk kebijakan berorientasi akademis.
“Karena ketokohannya, seorang kepala daerah yang hanya berijasah Kejar Paket C bisa mendapat suara terbanyak dalam Pilkada. Setelah menjabat dia akan bertemu pembantu dan penasihat kebijakan dengan baground pendidikan di atasnya. Manajemen dan birokrasi pemerintahan hingga digitalisasi tehnologi di beberapa bidang. Ketokohan selesai seiring Pilkada, selanjutnya kapasitas intelektual sosok akan teruji” sambung Purbo.
Kepala daerah berstatus jabatan politik, karena lahir dari dukungan Partai Politik. Menurut Litbang Demokrasi hal tersebut sesungguhnya bertentangan dengan prinsip pelayanan pemerintahan kepada warga masyarakat.
“Kepala Daerah saat sudah dilantik berubah menjadi pelayan rakyat, bukan lagi kepanjangan tangan kekuasaan dan kepentingan Partai Politik. Bagaimana melahirkan kebijakan yang adil dan berlaku tidak hanya kepada pendukungnya saja. Bupati, Walikota atau Gubernur yang suatu sat terlibat korupsi menurut hasil analisa kami disebabkan mereka lebih cenderung menjalankan “misi” daripada visi. Dalam definisinya orientasi misi terselip substansi kepentingan, bisa pribadi atau kelompok” imbuh Purbo dalam kapasitasnya sebagai peneliti senior di Litbang Demokrasi.
Pilkada serentak 2024 dengan segala dinamikan tarik ulur kepentingan politik dalam kaca mata Litbang Demokrasi tidak sedikit diikuti oleh calon kepala daerah dengan proses instant. Perebutan rekomendasi partai politik di ratusan daerah secara bersamaan bukan lagi mempertimbangkan kualitas. Tetapi akan berkoalisi di kubu apa.
“Cari sosok yang bisa dikendalikan, rebut dulu kekuasaan, urusan kapasitas dipikir belakangan yang penting maju dulu. Yang terjadi banyak Cakada yang cenderung menjadi boneka parpol karena ketokohannya, bukan dicalonkan karena kapasitas intelektualnya berlatar belakang pendidikan. Tidak sedikit sosok potensial justru tersingkir karena tidak mau menjadi boneka kekuasaan dan mendapat dukungan Parpol” kata Purbo. (Alam)