Derap Politik, Pemerintahan : Jakarta – Rincian sila-sila dari Pancasila sangat jelas dan sistematik, semua bukan kebetulan untuk menempatkan keyakinan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dalam urutan pertama untuk diyakini sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia dalam upaya untuk mewujudkan Kemanusiaan yang adil dan beradab bagi seluruh rakyat yang telah bersatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk itu semua, gerak langkah manusia Indonesia harus bertindak dalam kerangka Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
Sehingga segenap suku bangsa Nusantara yang telah bersatu dalam NKRI wajib dan patut secara bersama — tanpa kecuali — mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Cita-cita besar dan luhur ini jelas diurai dalam UUD 1945 yang asli guna menuntun segenap warga bangsa Indonesia berkehidupan sekaligus menata negara dengan baik dan benar, karena Pancasila itu sendiri telah disepakati menjadi ideologi negara.
Jadi tidak ada alasan untuk mengabaikan Pancasila sebagai pedoman hidup maupun pedoman dalam menata negara yang berkewajiban mewujudkan kelima sila Pancasila itu dengan mengacu pada etik profetik (ilahiyah), agar nilai-nilai kemanusian yang adil dan beradab dapat terwujud dalam persatuan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) yang dibangun secara bersama dari beragam negeri milik suku bangsa Nusantara.
Karena itu, relevansi wawasan Nusantara menjadi penting untuk disadari dan dipahami sebagai acuan histori dari kebijakan, kebesaran dan keugaharian sikap dan sifat yang telah diwariskan oleh para leluhur untuk menjadi pijakan melangkah memasuki peradaban dunia yang baru dengan segenap rintangan dan tantangan, yaitu kapitalisme (materialisme) yang kini telah melahirkan generasi terbarunya yang bisa disebut neo liberal.
Trah baru neo liberal inilah yang kini semakin merajalela di negeri kita, sehingga banyak warga bangsa Indonesia yang mabuk kepayang terhadap harta dan kekuasaan. Atau sebaliknya, mabuk kekuasaan dan harta. Karena itu seakan menjadi jamak, penguasa yang birahi menjadi pengusaha, dan pengusaha yang kesengsem ingin menjadi penguasa.
Begitulah realita dari fenomena yang mewabah dalam budaya Indonesia sekarang. Partai politik banyak diisi oleh pengusaha.
Diantarsnya pun tak sedikit yang genit membuat partai sendiri. Dan orang partai dominan merangkap sebagai pengusaha, meski secara dadakan mereka memiliki dari sejumlah konsesi hutan dan lahan tambang di berbagai daerah sebagai hasil yang dianggap halal selama menjadi penguasa atau pejabat negara.Budaya politik di Indonesia pun semakin runyam.
Nyaris tak ada kader partai yang lahir dari proses pendidikan dan pelatihan politik yang dilakukan oleh partai. Semua seperti mewarisi tradisi turun temurun atas dasar trah — bukan berasal dari proses atas capaian reputasi dan prestasi lewat jenjang pelatihan dan pendidikan politik.
Yang semakin dominan kekuasaan itu diperoleh atas dasar warisan yang dianggap wajar dibagi secara turun temurun, dari Kakek ke Bapak atau ibu, hingga kemudian yang tergenggam dalam budaya nepotis, seperti yang mulai diresahkan rakyat sejak Orde Baru berkuasa sampai sekarang.
Dan tumbangnya Orde Baru tahun 1998 dahulu itu sangat diharap tumbangnya pula budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sudah amat sangat membahayakan kehidupan berbangsa serta kehidupan bernegara.
Anehnya, harapan Orde Reformasi untuk melibas habis budaya KKN itu, justru semakin marak bersemi dan berkembang pada hari ini di Indonesia.Inilah salah satu biang yang dianggap sebagai ancaman bagi negara dan bangsa.
Sebab korupsi, kolusi dan bepotisme menjadi penyakit didalam tubuh bangsa dan negara yang menggerogoti organ tubuh lainnya, sehingga tak lagi ada instansi atau lembaga negara yang dapat dipercaya, hingga keresahan terus menggelegak bersama kecemasan segenap warga masyarakat.Kehadiran GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) bersama Posko Negarawan yang mengidolakan lahirnya sejumlah tokoh negarawan yang memiliki bobot atau nilai-nilai spiritual untuk menangkal penyakit kronis bangsa dan negara akibat tidak adanya sosok negarawan di negeri ini.
Kebobrokan etika, moral dan akhlak pengelola negara dan pemerintahan, jelas alibat tidak berfungsinya peranan BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) untuk membumikan Ideologi negara yang menular pada pengabaian falsafah bangsa, yaitu Pancasila.
Karena itu, fungsi dan peranan BPIP harus dan terpaksa diambil alih oleh GMRI bersama Posko Negarawan seperti yang telah dilakulan secara gencar oleh GMRI dan Posko Negarawan di tanah air.Banten, 15 Februari 2023